Rabu di Mei Pertama

Kepadamu yang aku perhatikan diam-diam.
Terimakasih sudah mampir dan hadir.
Terimakasih sudah bersedia memberi warna baru pada ruang yang mulai usang.
Terimakasih pada cela yang kau sediakan. Fikirku aku layak untuk itu.
Ada banyak harap yang aku titipkan pada tiap kalimat-kalimat doa.
..
Semesta sepertinya cukup puas membiarkan waktu bermain.
Hari-hari berlalu membuatku merasa bahwa kau dan aku pantas disebut “kita”.
Namun sepertinya semesta tak sependapat dengan waktu, apalagi dengan harapku.
Semuanya berhenti disana, dan berhenti begitu saja
..
Entah kecewa macam apa yang aku rasa.
Entah sakit macam apa yang sedang mendera hingga pilu benar-benar menyelimutiku.
Aku diam, sendiri. Mencari pada titik apa hingga aku membuatmu memilih pergi.
Di bagian mana aku melukis warna yang akhirnya membuatmu memilih berhenti.
..
Aku menyimpanmu rapat-rapat di dasar hatiku. Agar tak satupun orang dapat menemukannya.
Entah itu kau, aku, atau siapapun yang bukan di antara kita.
Cukup dan tepat rasaku terperangkap, sendirian dan berteman sepi.
Tak sedikitpun ‘ku berani untuk mengungkap. Karena mungkin hanya akan memperumit rasa.
..
Dan menyimpanmu diam-diam adalah pilihan paling aman. Aku tak akan menyebutnya tepat.
Karena coba fikir, dimana titik tepatnya saat kau menyimpan sebuah perasaan.
Itu malah hanya menyakiti diri sendiri. Benar bukan?
Namun nyatanya, itu adalah satu-satunya pilihan paling aman agar aku tetap bisa menikmati senyum dan tawamu di sela-sela percakapan kita.
..
Dan asal kau tau, aku benar-benar terperangkap sendirian pada teka-teki ini.
Menyimpan rasa sendirian.
Bahagia sendirian.
Jatuh hati sendirian.
Dan patah sendirian.
..
Aku sudah cukup mandiri.
Dan akhirnya tugasku hanyalah memastikan bahwa kau baik-baik saja.
Dan tentang sendiriku, tak perlu kau tau.

Dariku yang tak sempat membuatmu menetap

Comments

Popular posts from this blog

Kutipan Bahagia

Egoiskah Hati?